KORPORASI

Transparansi Kepemilikan Korporasi di Indonesia Masih Lemah: Temuan Greenpeace Ungkap Praktik Penyembunyian Pemilik Manfaat

Transparansi Kepemilikan Korporasi di Indonesia Masih Lemah: Temuan Greenpeace Ungkap Praktik Penyembunyian Pemilik Manfaat
Transparansi Kepemilikan Korporasi di Indonesia Masih Lemah: Temuan Greenpeace Ungkap Praktik Penyembunyian Pemilik Manfaat

JAKARTA - Meskipun sudah lima tahun berlalu sejak diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 mengenai Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Korporasi, studi terbaru yang dirilis oleh Greenpeace Indonesia mengungkapkan bahwa transparansi kepemilikan perusahaan di Indonesia masih sangat lemah. Laporan yang diterbitkan pada hari ini menyoroti sejumlah korporasi besar, termasuk Grup DTK Opportunity, Grup Digoel Agri, dan Grup FAP Agri, yang diduga melakukan praktik penyembunyian identitas pemilik manfaat mereka melalui berbagai cara yang tidak transparan. Temuan ini mengindikasikan bahwa meskipun perusahaan-perusahaan tersebut sudah memenuhi kewajiban pelaporan, mereka tetap dapat menyembunyikan pemilik manfaat akhir mereka, yang seharusnya menjadi informasi yang harus dipublikasikan kepada publik.

Pengungkapan Tertunda atas Pemilik Manfaat Korporasi

Laporan Greenpeace Indonesia menunjukkan bahwa meskipun Peraturan Presiden No. 13/2018 sudah mengatur kewajiban bagi setiap perusahaan di Indonesia untuk mengungkapkan pemilik manfaat akhir (ultimate beneficial owner/UBO), masih banyak perusahaan yang dapat menyembunyikan siapa yang benar-benar mengendalikan atau mendapatkan keuntungan dari aktivitas mereka. "Meskipun ada kewajiban pelaporan yang seharusnya membuat perusahaan lebih transparan, kami menemukan bahwa banyak korporasi yang berhasil menghindari pengungkapan ini," kata Direktur Kampanye Hutan dan Perubahan Iklim Greenpeace Indonesia, Riko Kurniawan.

Riko juga menambahkan bahwa praktik ini tidak hanya merugikan transparansi ekonomi, tetapi juga memberikan dampak negatif terhadap upaya pemberantasan korupsi dan penghindaran pajak. "Saat pemilik manfaat sesungguhnya tidak diketahui, korporasi dapat melakukan praktik-praktik yang merugikan negara dan masyarakat, termasuk penghindaran pajak yang besar," tambahnya.

Praktik Penyembunyian Pemilik Manfaat

Dalam laporannya, Greenpeace Indonesia mengidentifikasi sejumlah metode yang digunakan oleh korporasi untuk menyembunyikan identitas pemilik manfaat mereka. Salah satunya adalah dengan menggunakan nominee agreement atau perjanjian nominee, yang memungkinkan individu atau pihak tertentu untuk menjadi pemilik secara formal atas nama pemilik manfaat sesungguhnya. Dengan cara ini, informasi yang tercatat di publik tentang pemilik perusahaan menjadi tidak akurat dan menyesatkan.

Selain itu, beberapa perusahaan juga diduga melakukan pelaporan yang tidak akurat dengan memanipulasi data yang diserahkan kepada otoritas berwenang. Hal ini menciptakan kesenjangan antara informasi yang sebenarnya dan yang tercatat dalam sistem pelaporan resmi. "Meskipun perusahaan memenuhi kewajiban untuk melaporkan data, mereka bisa memanfaatkan celah dalam regulasi untuk tidak mengungkapkan pemilik manfaat sesungguhnya," jelas Riko.

Peran Pemerintah dalam Meningkatkan Transparansi

Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 merupakan upaya pemerintah untuk memperkenalkan sistem transparansi dalam kepemilikan korporasi di Indonesia. Salah satu tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap individu atau kelompok yang mendapatkan manfaat dari kegiatan perusahaan dapat diidentifikasi secara jelas. Ini adalah langkah penting dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan, penghindaran pajak, dan bahkan korupsi yang sering kali terkait dengan struktur perusahaan yang kabur.

Namun, meskipun regulasi ini sudah ada, implementasinya masih lemah. Banyak perusahaan yang tampaknya hanya "pura-pura" membuka data dan tidak sepenuhnya mematuhi prinsip pengungkapan yang dimaksudkan. Greenpeace Indonesia menilai bahwa pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran ini masih sangat kurang.

Studi Kasus: Grup DTK Opportunity, Digoel Agri, dan FAP Agri

Beberapa nama besar yang tercantum dalam laporan Greenpeace Indonesia sebagai contoh praktik penyembunyian pemilik manfaat adalah Grup DTK Opportunity, Grup Digoel Agri, dan Grup FAP Agri. Ketiga grup korporasi ini diketahui terlibat dalam sektor-sektor yang memiliki dampak lingkungan dan sosial yang signifikan, seperti perkebunan kelapa sawit dan komoditas lainnya. Namun, meskipun mereka tercatat memenuhi kewajiban pelaporan, identitas pemilik manfaat sesungguhnya tidak dapat ditemukan dalam catatan resmi.

“Sebagai contoh, Grup DTK Opportunity yang terlibat dalam sektor energi dan infrastruktur memiliki struktur kepemilikan yang sangat kompleks, di mana pemilik manfaat akhirnya tetap tersembunyi,” ungkap Riko.

Selain itu, dalam kasus Grup Digoel Agri, yang beroperasi di sektor perkebunan kelapa sawit, Greenpeace juga menemukan bahwa struktur kepemilikan yang diterapkan sangat sulit untuk dipahami. Beberapa lapisan kepemilikan yang mengaburkan siapa yang sebenarnya menerima keuntungan dari usaha tersebut memungkinkan mereka untuk tidak mematuhi prinsip transparansi yang seharusnya diterapkan.

Dampak terhadap Ekonomi dan Lingkungan

Kurangnya transparansi dalam kepemilikan korporasi memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar masalah administrasi. Salah satu dampak paling signifikan adalah terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Banyak korporasi yang memiliki struktur kepemilikan yang tidak jelas terlibat dalam industri yang berisiko merusak lingkungan, seperti perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan kehutanan. Ketika pemilik manfaat yang sebenarnya tidak diketahui, kontrol atas dampak lingkungan dan sosial dari perusahaan tersebut menjadi sangat sulit dilakukan.

“Kurangnya transparansi ini dapat memperburuk kerusakan lingkungan, seperti yang terlihat di sektor kelapa sawit, di mana pembukaan lahan untuk perkebunan sering kali dilakukan dengan cara yang tidak ramah lingkungan,” ungkap Riko.

Selain itu, dalam jangka panjang, kurangnya transparansi dapat merugikan ekonomi negara, karena korporasi yang tidak jelas pemiliknya dapat menghindari kewajiban pajak yang seharusnya mereka bayar. Penghindaran pajak ini mengurangi potensi pendapatan negara yang dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik lainnya.

Apa yang Harus Dilakukan?

Greenpeace Indonesia mendesak agar pemerintah segera memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terkait transparansi kepemilikan perusahaan. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memperketat regulasi terkait pelaporan pemilik manfaat dan memastikan bahwa informasi yang dilaporkan tidak hanya lengkap tetapi juga akurat. “Pemerintah harus berkomitmen untuk mengawasi dan menindak tegas korporasi yang gagal mengungkapkan pemilik manfaat secara transparan,” kata Riko.

Selain itu, partisipasi masyarakat dan media juga sangat penting untuk mendesak perusahaan dan pemerintah untuk lebih terbuka dan bertanggung jawab dalam masalah ini. “Masyarakat harus terus menuntut transparansi, karena ini adalah hak mereka untuk mengetahui siapa yang benar-benar mengendalikan dan mendapatkan keuntungan dari perusahaan-perusahaan besar,” tambah Riko.

Dengan adanya tekanan yang lebih besar terhadap transparansi dan penegakan hukum yang lebih ketat, diharapkan praktik-praktik penyembunyian identitas pemilik manfaat dapat diminimalisir, serta tercipta iklim usaha yang lebih adil dan berkelanjutan di Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index